Kamis, 17 Maret 2011

PENGARUH NAUNGAN PARANET TERHADAP SIFAT TOLERANSI TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott) EFFECT OF PARANETS SHADE TO TOLERANCE CHARACTERS OF TARO (Colocasia seculenta (L.) Schott)

Ilmu Pertanian, Vol. 10 No. 2, 2003 : 17-25
 PENGARUH NAUNGAN PARANET TERHADAP SIFAT
TOLERANSI TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott)
EFFECT OF PARANETS SHADE TO TOLERANCE
CHARACTERS OF TARO (Colocasia seculenta (L.) Schott)
Djukri 1 dan Bambang Sapta Purwoko 2

ABSTRACT
The objective of the research was to determine the effect of paranet shading on physiological characters of taro. Two factors namely shade and clone were used. An experiment was carried out according to split plot design procedure. Shade as main plot consisted of four levels, i.e without shade (0%), shade of 25%, 50%, and 75%, whereas clone as sub plot consisted of 20 taro clones. Result of the experiment showed that under 25% of shading 16, tolerant clones and 4 sensitive clones were obtained, while in 50% of shading, 9 tolerant clones and 11 sensitive clones were obtained, whereas in 75% of shading, 7 tolerant clones and 13 sensitive clones were obtained. Increase of leaf areas and levels of chlorophyll a and b in tolerant clones was higher than those of sensitive clones. Decrease of chlorophyll a and b ratio, corm fresh weight, corm dry weight, corm starch content and leaf nitrogen content of sensitive clones was higher than those of tolerant clones.
Key words: Taro, paranet shade, tolerance characters

INTISARI
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh naungan paranet terhadap karakter fisiologi tanaman talas. Penelitian ini terdiri atas dua faktor yaitu naungan dan klon dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah. Naungan sebagai petak utama terdiri atas naungan paranet 0%, 25%, 50%, dan 75%, sedangkan klon sebagai anak petak terdiri atas 20 klon talas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada naungan 25% terdapat 16 klon talas toleran dan 4 klon peka. Pada naungan 50% terdapat 9 klon toleran dan 11 klon peka, sedangkan pada naungan 75% terdapat 7 klon toleran dan 13 klon peka. Peningkatan luas daun dan kadar klorofil a dan b klon toleran lebih tinggi dibandingkan klon peka. Penurunan rasio klorofil a/b, bobot basah umbi, bobot kering umbi, kadar pati umbi, dan kadar nitrogen daun klon peka lebih tinggi dibandingkan klon toleran.
Kata kunci: Talas, naungan paranet, sifat toleran
1 Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
2 Staf Pengajar Departemen Budi Daya Pertanian, Faperta, IPB Ilmu Pertanian Vol. 10 No. 2 18
PENDAHULUAN
Petani di Indonesia sudah biasa menanam talas di sawah atau di pekarangan. Kendala budidaya talas di pekarangan antara lain kanopi rapat, sehingga intensitas cahaya yang diterima tanaman rendah. Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman ialah intensitas cahaya, kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al., 1991). Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme, sehingga menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al., 1994 ; Sopandie et al., 2003).
Pada kondisi kekurangan cahaya, tanaman berupaya untuk mempertahankan agar fotosintesis tetap berlangsung dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Keadaan ini dapat dicapai apabila respirasi juga efisien (Sopandie et al., 2003). Mohr dan Schopfer (1995) menyatakan kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Secara genetik, tanaman yang toleran terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan.
Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan distribusi spektrum cahaya matahari yang diterima oleh daun di permukaan tajuk (1900 umol m-2s-1) lebih besar dibanding dengan daun di bawah naungan (17.7 umol m-2s-1). Pada kondisi ternaungi cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis sangat sedikit. Cruz (1997) menyatakan naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya.
Pengaruh intensitas cahaya rendah terhadap hasil pada berbagai komoditi sudah banyak dilaporkan. Naungan 50% pada padi genotipe peka menyebabkan jumlah gabah/malai kecil serta persentase gabah hampa yang tinggi, sehingga produksi biji rendah (Sopandie et al., 2003). Intensitas cahaya rendah pada saat pembungaan padi dapat menurunkan karbohidrat yang terbentuk, sehingga menyebabkan meningkatnya gabah hampa (Chaturvedi et al., 1994). Intensitas cahaya rendah menurunkan hasil kedelai (Asadi et al., 1997), jagung (Andre et al., 1993), padi gogo (Supriyono et al., 2000), ubi jalar (Nurhayati et al., 1985), dan talas (Caiger, 1986 ; Wirawati et al., 2002). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi tanaman talas terhadap intensitas cahaya rendah.


BAHAN DAN METODE
Bahan–bahan yang digunakan ialah tanaman talas sebanyak 20 klon yaitu klon-klon T5, T14, T17, T21, T160, T169, T176, T395, T397, T417, T500, T571, T583, T603, T606, T607, T608, T610, T621, dan T638. Bahan-bahan lainnya ialah paranet 25%, 50%, dan 75%, pupuk kandang dengan dosis 200 g/tanaman yang diberikan pada saat sebelum tanam. Pupuk N, P, K dengan dosis 90 kg urea/ha, 100 kg SP36,/ha, dan 100 kg KCl/ha yang diberikan pada saat tanaman talas berumur empat bulan setelah tanam, insektisida, bambu, dan bahan pembantu untuk penanaman. Bahan kimia yang digunakan antara lain bahan kimia untuk analisis klorofil, N daun, dan pati umbi.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan tiga blok sebagai ulangan dengan jarak tanam 80 cm x 80 cm. Faktor naungan sebagai petak utama adalah Djukri dan Purwoko : Pengaruh naungan paranet terhadap tanaman talas 19
empat taraf naungan, masing-masing: N0 = tanpa naungan, N1 = naungan 25%, N2 = naungan 50%, dan N3 = naungan 75%. Faktor ke dua sebagai anak petak terdiri atas 20 klon talas. Pemberian naungan paranet dilakukan pada saat talas umur dua bulan setelah tanam. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis varian. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dan DMRT dengan taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1995).
Pengamatan dilakukan terhadap luas daun (Sitompul dan Guritno, 1995), kandungan klorofil a dan b (Arnon, 1949), nitrogen daun (Yoshida et al., 1976), pati umbi (Apriyantono et al., 1989), dan bobot kering umbi pada saat panen (umur 28 minggu setelah tanam).
Cara menentukan kriteria toleransi talas terhadap naungan dilakukan dengan mengukur bobot kering umbi. Pengujian dilakukan menggunakan uji t dari penurunan bobot kering umbi talas ternaungi terhadap kontrol. Langkah pertama pengujian dengan melakukan uji t pengaruh naungan terhadap bobot kering umbi tanpa memperhatikan tingkat persentase naungan. Selanjutnya dilakukan uji t terhadap masing-masing klon dengan menghitung kuadrat tengah sisa dan nilai t hitung. Hasil penghitungan t hitung dibandingkan dengan t tabel pada taraf nyata 5% dan 1%. Bila t hitung lebih besar dari pada t tabel artinya berbeda nyata (termasuk kelompok peka) dan bila lebih kecil dari t tabel artinya tidak berbeda nyata (termasuk kelompok toleran).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa naungan paranet berpengaruh nyata terhadap penurunan bobot kering umbi (Tabel 1). Berdasarkan penurunan bobot kering umbi (Tabel 1), hasil uji toleransi terhadap 20 klon talas yang diteliti terdapat klon-klon toleran dan peka pada naungan paranet 25%, 50%, dan 75%. Hasil relatif (persen terhadap kontrol) bobot kering umbi pada naungan 25% berkisar antara 36.7-102.1%, yang keragamannya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil relatif pada naungan 50% (28.1-87.9%) dan naungan 75% (24.5-91.7%). Sahardi (2000) menyatakan bahwa penyaringan genotipe toleran padi gogo berdasarkan penurunan hasil relatif yang mempunyai keragaman tinggi yaitu naungan karet 3 tahun yang setara dengan naungan 50%.
Berdasarkan hasil penentuan kriteria toleransi, sebaran klon toleran ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan 16 klon toleran dan 4 klon peka pada naungan paranet 25%. Pada naungan 50% diperoleh 9 klon toleran dan 11 klon peka, sedangkan pada naungan 75% diperoleh 7 klon toleran dan 13 klon peka. Gambar 1 juga menunjukkan 7 klon yang toleran pada tiga tingkat naungan ialah klon T14, T21, T583, T606, T607, T608, dan T638.
Pada penelitian ini keragaman tertinggi penurunan hasil relatif bobot kering umbi ialah naungan 25%, tetapi bila memperhatikan jumlah klon talas toleran pada naungan 25% diperoleh 16 klon yang lebih banyak dibandingkan naungan 50% (9 klon toleran) dan 7 klon toleran pada naungan 75%. Atas dasar klon toleran yang diperoleh, naungan 25% masih terlalu kasar untuk menyaring klon talas toleran dan naungan 75% terlalu halus. Dengan pertimbangan perolehan klon toleran pada ke tiga tingkat naungan tersebut, maka pada penelitian ini dipilih naungan 50% untuk menyaring talas toleran. Elfarisna (2000) menyatakan bahwa untuk verifikasi hasil kedelai toleran naungan digunakan naungan buatan 50%. Ilmu Pertanian Vol. 10 No. 2 20
Tabel 1. Pengaruh naungan terhadap bobot kering (g) umbi pada umur 28 MST Klon Talas
Tingkat Naungan (%)
0
25
50
75
Talas (5)
Talas Sutra (14)
Talas (17)
Talas (21)
T.Lompong (160)
Talas Bogor (169)
Talas Balong Bodas (176)
Talas (395)
Talas Gatal (397)
TalasSalak (417)
Talas Amargo(500)
Talas Hijau Bergaris (571)
Talas Hijau Ungu (583)
Talas (603)
Talas (606)
Talas (607)
Talas (608)
Talas (610)
Talas (621)
T.Kelintingan(638)
121.4
116.9
88.5
96.3
57.1
189.8
73.9
33.9
29.3
227.1
65.9
132.2
78.2
120.3
271.3
284.1
256.1
217.7
167.4
171.7
77.6(63.9)
94.6(80.9)
66.8(75.4)
76.8 (79.8)
51.3(89.9)
136.0(71.7)
27.1(36.7)
29.9(88.4)
14.4(49.2)
161.0(70.9)
45.4(68.8)
72.3(54.7)
53.5(68.4)
60.2(50.0)
250.6(92.4)
254.3(89.5)
209.9(81.9)
145.4(66.8)
113.5(67.8)
175.3(102.1)
50.7(41.8)
71.9(61.6)
41.8(47.2)
70.2(72.9)
27.7(48.6)
157.4(82.9)
20.7(28.1)
20.0(59.2)
12.0(41.1)
145.3(64.0)
27.8(42.1)
41.0(31.0)
52.1(66.5)
40.6(33.7)
193.8(71.4)
249.8(87.9)
194.0(75.8)
120.6(55.4)
65.7(39.3)
132.4(77.1)
52.8(43.5)
95.3(81.5)
36.1(40.8)
64.2(66.7)
29.1(50.8)
111.2(60.2)
26.0(35.2)
18.5(54.6)
11.2(38.1)
136.9(60.3)
27.5(41.6)
44.3(33.5)
48.7(62.2)
30.1(24.9)
215.6(79.5)
260.5(91.7)
160.8(62.8)
123.3(56.6)
86.3(51.6)
130.9(76.2)
Rata-rata
140.0A
97.4(69.6)B
85.9(61.4)C
84.9(60.7)C









Munarman: Rekayasa Bom Agar Dana Asing Mengucur

Jakarta (SI ONLINE)- Mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman, menengarai bahwa bom skala kecil yang meledak di Markas Jaringan Islam Liberal (JIL), Jl Utan Kayu Raya No. 68H, Jakarta Timur adalah permainan khas gaya intelijen Zionis.

Menurut Munarman bom rekayasa itu dilakukan agar dana operasional JIL yang selama ini sudah tersendat kembali mengucur deras. "JIL itu sudah hampir bubar karena kehabisan dana. Begitu juga Kantor Berita 68H adalah perusahaan rugi milik si Goen (Gunawan Mohammad, red)" katanya melalui pesan singkat, Selasa (15/3/2011)

Seperti diketahui seluruh pendanaan JIL selama ini berasal dari asing, khususnya Amerika, melalui The Asia Foundation, USAID dan  George Soros melalui Yayasan Tifa. "Biaya kuliah Ulil ke Amerika juga atas dana asing. Dana asing itu digunakan untuk subversive politik dan agama, artinya mereka telah meresahkan masyarakat.", kata Direktur An Nashr Institute itu.

Rep: Shodiq Ramadhan

Rabu, 16 Maret 2011

Teknik Produksi dan Pengembangan Tataniaga Jagung

498 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tataniaga Jagung
I G.P. Sarasutha, Suryawati, dan Margaretha SL.
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

PENDAHULUAN

Penelitian dan pengembangan (litbang) tanaman jagung pada masa yang akan datang difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan, baik untuk pangan maupun pakan. Mengingat terbatasnya lahan subur maka pengembangan jagung diarahkan ke lahan suboptimal, baik secara monokultur maupun dikombinasikan dengan tanaman lainnya dalam pola tanam setahun. Pengembangan jagung diarahkan pada usaha berbasis kemitraan untuk ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.

Badan Litbang Pertanian (1999) mengarahkan program agribisnis kepada upaya peningkatan pendapatan petani melalui reorientasi kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian, dan mendukung pengembangan agribisnis, yaitu perubahan dari peningkatan kuantitas menjadi peningkatan kualitas, dan perubahan pendekatan komoditas menjadi pendekatan agribisnis. Agribisnis adalah sistem tataniaga komoditas pertanian modern berorientasi pasar yang menuntut perilaku ekonomi dan kelembagaan.

Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan program Prima Tani pada
beberapa wilayah di Indonesia, dengan mengembangkan model agribisnis terintegrasi secara vertikal dan horizontal berbasis lahan marjinal dalam program Pengembangan Model Agribisnis Berbasis Inovasi Teknologi Pertanian. Program ini dilaksanakan untuk mendukung pengembangan komoditas pertanian unggulan dalam suatu kawasan dengan didukung oleh beberapa unsur terkait (kelembagaan) dalam proses produksi dan pemasaran hasil. Tujuan akhir dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan pendapatan petani dan unsur yang terkait dalam usahatani dan pemberdayaan masyarakat pertanian pada umumnya.

KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN
PASCAPANEN JAGUNG

Di Indonesia, jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi 18 tahun yang lalu menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat pada lahan kering, 11% pada lahan sawah irigasi, dan sisanya (10%) pada lahan sawah tadah hujan (Mink et al. 1987). Diperkirakan saat ini areal pertanaman jagung pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah  tadah hujan meningkat masing-masing menjadi 10-15% dan 20-30%, terutama pada daerah produksi jagung komersial (Kasryno 2002).
Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Di Indonesia, pada tahun 2000, pemanfaatan jagung sebesar 50% untuk bahan makanan dan industri pangan, sedangkan 50% lagi untuk industri pakan. Kecenderungan proporsi tersebut akan berubah pada tahun 2020 di mana industri pakan memerlukan jagung sekitar 76,2% (Kasryno 2006).

Pada tahun 2004, Indonesia masih mengimpor jagung sekitar 1 juta ton
untuk memenuhi kebutuhan. Produksi jagung di dalam negeri baru mencapai
11,225 juta ton dengan produktivitas yang masih rendah, rata-rata 3,3 t/ha (Fadel dan Musa 2006). Sekitar 65% pertanaman jagung diusahakan pada lahan kering pada musim hujan, sehingga pada saat panen kadar air biji jagung masih cukup tinggi. Kondisi ini kondusif bagi pertumbuhan cendawan yang menghasilkan mikotoksin pada biji jagung. Syarat umum bagi produk jagung untuk pakan maupun untuk pangan, ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

Syarat umum:
- Bebas hama dan penyakit
- Bebas bau busuk, asam, atau bau asing lainnya
- Bebas bahan kimia: insektisida dan fungisida
- Suhu normal
Syarat Khusus:
- Kadar air maksimum (mutu I < 14%, mutu II 14%, mutu III 15%, dan
mutu IV 15-17%)
- Butir rusak (mutu I < 2%, mutu II 4%, mutu III 6%, dan mutu IV 8%)
- Warna lain maksimum (mutu I < 2%, mutu II 3%, mutu III 7%, dan mutu
IV 10%)
- Butir pecah maksimum (mutu I < 1%, mutu II 1%, mutu III 2%, dan mutu
IV > 2%)
- Kadar aflatoksin tidak lebih dari 30 ppb.
Peningkatan produksi jagung di Indonesia belum diikuti oleh penanganan pascapanen yang baik. Petani kurang mendapatkan informasi tentang kegiatan panen dan pascapanen yang dapat mengurangi biaya dan menekan susut mutu jagung. Karena itu, petani di beberapa wilayah pengembangan jagung masih belum merasakan nilai tambah dengan meningkatnya kualitas produk biji jagung (Firmansyah 2006). Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas karena masih lebarnya perbedaan produktivitas di tingkat petani (3,1 t/ha) dengan di tingkat penelitian (4,5-8,0 500 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan t/ha), maupun perluasan areal tanam, terutama pada lahan kering di luar Jawa (Subandi 2004). Sekitar 65% jagung ditanam pada lahan kering pada musim hujan, sehingga pengeringan tongkol jagung sangat bergantung pada sinar matahari. Panen pada musim hujan menyebabkan kadar air jagung cukup tinggi. Kondisi demikian menyebabkan tumbuhnya cendawan Aspergillus sp. yang memproduksi aflatoksin.

Di Madura (Jawa Timur), NTT, dan Jeneponto (Sulawesi Selatan), jagung
putih sebagai makanan utama disimpan dalam bentuk tongkol yang masih berkelobot. Jagung berkelobot tersebut diikat, kemudian diasapi untuk mencegah kumbang bubuk, dan digantung pada para-para dapur (Tandiabang et al. 2006). Di Gorontalo, Bualemo, dan Pohuwatu, curah hujan pada saat penanaman sampai panen umumnya kurang sampai sedang (MH 2004/05). Petani mengeringkan jagung berkelobot selama 30 hari di lahannya dan dipanen setelah batang dan daun tanaman berwarna coklat dan tangkai tongkol terkulai ke bawah. Pengeringan jagung berkelobot di lahan dilakukan oleh petani dengan pertimbangan lebih praktis dan efisien karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya membeli tikar untuk mengeringkan jagung. Pada saat panen, tanaman dipotong satu jengkal di atas permukaan tanah, kemudian jagung dikupas dari kelobotnya, dan biji dipipil menggunakan mesin pemipil dengan biaya Rp 2.500-5.000/kuintal.

Untuk mencegah menurunnya mutu biji, jagung tongkol yang dipanen
segera dikeringkan Ananto et al. (2005). Penundaan proses pengeringan jagung tongkol menyebabkan kerusakan biji jagung. Semakin lama penundaan proses pengeringan, semakin besar kerusakan biji jagung.

Kadar air jagung pada saat dipipil berpengaruh terhadap butir utuh, butir
pecah, dan kotoran, terutama pada saat pemipilan dengan mesin pemipil (corn sheller). Makin rendah kadar air, makin tinggi persentase butir utuh, dan makin tinggi persentase kotoran (Ananto et al. 2005). Pemipilan pada saat kadar air jagung tinggi menyebabkan persentase biji pecah tinggi pula.
Hasil pengujian di Kediri menggunakan tiga mesin pemipil jagung buatan lokal menunjukkan tingkat kerusakan biji di atas 15% bila pemipilan dilakukan pada kadar air 32,5-35% bb (Tastra et al. 1990).
PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA
Tiga komponen utama yang mendukung tataniaga jagung adalah produsen,
pedagang, dan konsumen. Petani sebagai produsen perlu didukung oleh paket teknologi dan lembaga penyedia sarana produksi yang mampu menyediakan secara lima tepat (tepat waktu, jenis, ukuran, tempat, dan harga). Anjuran paket teknologi jagung sesungguhnya telah disadari manfaatnya oleh petani, yaitu untuk meningkatkan produksi, namun belum sepenuhnya diterapkan karena terbentur masalah pendanaan. Konsekuensinya, produksi belum optimal, baik jumlah maupun mutu, sehingga akan mempersulit pemasaran hasil, terutama untuk tujuan ekspor. Hal lain yang dihadapi petani dalam pemasaran produksi adalah belum dapat menjual langsung kepada pedagang besar (eksportir), PUSKUD, atau pedagang lainnya di kota provinsi. Petani umumnya menjual hasil jagung hanya ke pedagang pengumpul atau ke pasar (pedagang penyalur kota atau pengecer di pasar umum). Dengan demikian, harga yang diterima
petani relatif rendah dan fluktuatif. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi petani, sebab tidak adanya jaminan harga yang layak.

Berdasarkan data perkembangan harga jagung, pada bulan September-
November merupakan puncak harga jual tertinggi. Pada bulan September- Desember, kebutuhan (konsumsi) lebih besar dibanding produksi, yang menyebabkan harga jagung naik. Periode tersebut merupakan puncak paceklik, sehingga harga jagung tinggi. Dalam periode Januari-April, produksi lebih tinggi dari kebutuhan sehingga terjadi kelebihan produksi, yang menyebabkan harga jagung cenderung rendah (Nadjamuddin dan Noor 1997).

Akhir musim kemarau merupakan waktu terbaik bagi petani untuk
menjual hasil jagungnya, karena harga mencapai tingkat tertinggi. Namun
demikian, tidak semua petani dapat memanfaatkan peluang tersebut karena
terdesak oleh kebutuhan keluarga dan keterbatasan fasilitas penyimpanan
hasil. Untuk itu, kelebihan produksi pada waktu tertentu perlu diantisipasi
melalui usaha penampungan hasil oleh pihak penyangga seperti PUSKUD
dan KUD di masing-masing wilayah untuk memenuhi kebutuhan pada
periode berikutnya. Hal ini berperan penting dalam stabilisasi persediaan
jagung yang pada akhirnya akan menetralkan harga.
Pemasaran hasil jagung melibatkan banyak pihak. Karena itu perlu dilibatkan pihak-pihak terkait dalam merumuskan program, mulai dari proses produksi sampai pemasaran. Program tersebut menurut Bahtiar et al. (2002) mencakup: (1) sosialisasi teknologi penyimpanan yang dapat diterapkan petani untuk menghindari ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, (2) penyediaan sarana produksi (KUD, PT. Pertani, Perum Sang Hyang Seri) secara tepat (tepat jumlah dan jenis, tepat mutu, dan tepat harga dan lokasi), (3) penyediaan kredit usahatani untuk komoditas jagung (BRI), dan (4) penyerapan hasil berdasarkan standar mutu hasil (jaminan harga dari pemerintah/swasta).

ALUR TATANIAGA JAGUNG

Hasil jagung petani, bila dilihat dari distribusinya, sudah mengarah kepada
pasar (market oriented). Sebagian besar produksi dijual dan hanya sebagian
yang disimpan untuk konsumsi dan benih pada musim tanam berikutnya.
Faktor yang mendorong petani untuk menjual cepat hasil jagungnya antara
lain adalah: (1) mereka memerlukan uang tunai untuk membayar bunga
dan angsuran pokok kredit, (2) memenuhi kebutuhan keluarga, dan (3)
keharusan membayar PBB.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, petani perlu didorong untuk
memanfaatkan peluang yang ada, di antaranya meningkatkan produktivitas,
nilai tambah produksi melalui pengelolaan hasil, dan menempuh alur
pemasaran yang pendek, bahkan diupayakan untuk berhubungan langsung
dengan industri pangan dan pakan (Yonekura 1995). Alur pemasaran/
tataniaga turut menentukan pendapatan petani. Semakin panjang alur
tataniaga dari produsen ke konsumen akhir semakin menurun pendapatan
yang diperoleh produsen. Untuk memenuhi permintaan industri pengolahan
pakan dan makanan, terjadi alur tataniaga jagung antarprovinsi yaitu dari
provinsi surplus ke provinsi yang mengalami kekurangan.
Sulawesi Selatan
Serupa dengan daerah lainnya, alur tataniaga jagung di Sulawesi Selatan
dimulai dari petani ke pedagang pengumpul, dan pedagang besar. Di tingkat
petani, jagung dijual ke pedagang (pengumpul) atau ke pasar (pedagang
penyalur kota atau pengecer di pasar umum).
Harga jual jagung pada musim hujan dan musim kemarau berbeda.
Pada musim kemarau harga jagung umumnya lebih tinggi. Harga jagung
konsumsi pada tahun 2006 berkisar antara Rp 1.200-1.800/kg, pada musim
hujan Rp 1.200-1.300/kg, dan musim kemarau Rp 1.400-1.800/kg. Harga
jagung terus membaik dan hal ini diharapkan dapat mendorong petani
dalam berusahatani. Gambaran pemasaran jagung di Sulawesi Selatan
menurut penelitian Maamun et al. (2000) adalah sebagai berikut:
• Pedagang pengumpul membeli jagung pipilan dari petani dengan harga
Rp 300-500/liter, kemudian menjualnya ke pasar kabupaten dengan
harga Rp 450-600/kg. Pedagang mengumpulkan jagung sampai jumlah
tertentu kemudian diangkut ke pedagang penyalur di kota kabupaten
atau ke pedagang besar di kota provinsi (PUSKUD, eksportir) dengan
harga Rp 600-750/kg.
• Pedagang penyalur di kabupaten menangani hasil-hasil pertanian multikomoditas.
Khusus untuk jagung, penyaluran dilakukan ke beberapa
Sarasutha et al.: Tataniaga Jagung 503
daerah seperti Sidrap untuk pakan atau Gowa dan Makassar untuk
dikirim ke berbagai daerah di Jawa dan Kalimantan. Harga jual jagung
berkisar antara Rp 900-1000/kg (Gambar 1).
Gorontalo
Di Provinsi Gorontalo pemasaran jagung sudah terorganisasi dengan baik,
harga awal ditetapkan Rp 700/kg, kemudian meningkat menjadi Rp 900-
1.075/kg. Dukungan pemerintah Gorontalo dengan memberikan bantuan
membuat petani termotivasi untuk menanam jagung.
Pemasaran jagung di Provinsi Gorontalo berdasarkan kesepakatan
melalui pola kemitraan, yaitu pedagang pengumpul membeli jagung dari
petani. Pada umumnya antara kedua pihak sudah terjalin hubungan karena
pedagang pengumpul memberikan pinjaman kepada petani berupa sarana
produksi dan diperhitungkan pada saat penjualan jagung dengan harga
pasar. Harga pembelian jagung dari petani cukup bervariasi, bergantung
pada kualitas biji jagung dan jarak lokasi ke Kota Gorontalo.
Selanjutnya, pedagang pengumpul menjual jagung kepada swasta atau
BUMD untuk diekspor atau diantarpulaukan. Di tingkat pedagang pengumpul,
persyaratan kualitas jagung adalah: kadar air 17%, warna biji cerah, tidak
bertepung, dan kadar aflatoksin maksimum 150 ppb. Jagung yang dibeli
dari pedagang pengumpul kemudian dipasarkan ke Surabaya, Manado,
Bitung, Singapura, Malaysia, dan Filipina (Gambar 2).
Gambar 1. Alur tataniaga jagung di Sulawesi Selatan (Maamun et al. 2000).
Petani
produsen
di desa
Pedagang
pengumpul
di desa
Pedagang besar
di provinsi/
kota besar
Pulau Jawa
Kalimantan,
Sulawesi Tengah,
dll.
Petani
pepakan/peternak
ayam dari Sidrap
dan Sinjai
Pedagang
pengumpul
di kabupaten
Pasar umum
di kabupaten
504 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Nusa Tenggara Barat
Di Kabupaten Lombok Timur, petani menjual jagung kepada pedagang
pengumpul desa/kecamatan dalam bentuk gelondongan dengan harga Rp
450-Rp 600/kg. Di kabupaten Sumbawa, petani menjual jagung dalam bentuk
pipilan dengan harga Rp 650-Rp 700/kg ke pedagang pengumpul desa/
kecamatan, selanjutnya dijual ke pedagang kabupaten. Dari pedagang
kabupaten, jagung dijual ke pedagang propinsi yang selanjutnya memasarkannya
ke Bali. Alur tataniaga jagung di provinsi NTB dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 2. Alur tataniaga jagung di Provinsi Gorontalo (Saenong et al. 2003,
Firmansyah et al. 2005).
Gambar 3. Alur tataniaga jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Saenong et al. 2006).
Petani
Pedagang pengumpul
Swasta/BUMD
Pedagang
antarpulau
Eksportir dan
pabrik pakan lain
Petani
Pedagang pengumpul
desa/kecamatan
Pedagang pengumpul
kabupaten
Pedagang besar
di Ibukota Provinsi NTB
Pedagang besar/eksportir di Bali
Sarasutha et al.: Tataniaga Jagung 505
Nusa Tenggara Timur
Di Nusa Tenggara Timur, jagung merupakan makanan pokok penduduk,
sehingga produksi digunakan untuk kebutuhan sendiri dengan harga jual
Rp 2.500/kg. Pemasaran jagung di NTT dapat dilihat pada Gambar 4.
Kalimantan Selatan
Produksi jagung sebagian dijual ke peternakan ayam yang ada di Kalimantan
Selatan, sebagian lagi dipasarkan ke Surabaya dan Kalimantan Barat dengan
harga jual di tingkat petani Rp 1.000-Rp 1.200/kg jagung pipilan. Jalur
tataniaga jagung di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Alur tataniaga jagung di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2005.
Gambar 5. Alur tataniaga jagung di Provinsi Kalimantan Selatan (Hasil PRA 2006).
Petani
Kelompok Tani Pedagang pengumpul
desa/kecamatan/kabupaten
Peternakan ayam
Konsumen
Pedagang antarpulau
Konsumen di Surabaya,
Kalimatan Barat
Petani
Pasar desa Pedagang pengumpul
desa/kecamatan/
kabupaten di lokasi petani
Konsumen
Konsumen
Distribusi yang ada di
desa/kecamatan/
kabupaten seprovinsi NTT
Pengusaha
perorangan/
kelompok/LSM
Konsumen
506 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Dari uraian di atas, tampak bahwa pemanfaatan jagung di NTT terutama
untuk pangan, sedangkan di provinsi lainnya (Sulsel, Gorontalo, NTB, dan
Kalsel) sebagian besar untuk pakan. Di Gorontalo, ekspor jagung ke negara
tetangga seperti Malaysia dan Filipina mencapai 800 t/hari. Di provinsi ini
petani mendapat dukungan dari pemerintah, selain penetapan harga jagung
yang memihak petani, juga memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana
untuk ekspor jagung. Pranadji dan Pasandaran (2002) mengemukakan,
mengingat peran industri pakan relatif besar dalam mempengaruhi jaringan
kelembagaan agribisnis jagung, permodalan menjadi salah satu kunci untuk
menggerakkan kelembagaan agribisnis jagung di Indonesia.
KESIMPULAN
1. Jagung dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan, dan industri.
Di Indonesia, pada tahun 2000, 50% jagung dimanfaatkan untuk bahan
makanan dan industri pangan, sedangkan 50% lagi untuk industri pakan.
2. Penggunaan jagung di masa yang akan datang akan berubah dari 50%
untuk industri pakan menjadi 76,2%, selebihnya untuk bahan makanan
dan industri.
3. Sekitar 65% jagung ditanam pada lahan kering di musim hujan, sehingga
pada saat panen kadar air biji jagung masih cukup tinggi dan merupakan
media yang cukup kondusif bagi pertumbuhan cendawan yang
menghasilkan mikotoksin pada biji jagung.
4. Peluang peningkatan produktivitas jagung di Indonesia masih terbuka
lebar karena hasil petani saat ini masih di bawah potensi hasil penelitian.
Dengan perbaikan teknik budi daya jagung maka potensi hasil tersebut
dapat dicapai. Dengan demikian, peran kelembagaan produksi perlu
diperbaiki dan ditingkatkan.
5. Proses pengeringan jagung memegang peranan penting untuk mendapatkan
kualitas yang sesuai dengan permintaan konsumen/pasar.
Makin rendah kadar air makin tinggi persentase butir utuh. Petani di
beberapa wilayah telah melakukan proses pengeringan sekaligus
penyimpanan di atas para-para di dapur. Upaya ini tampaknya cukup
berhasil untuk mengurangi terserangnya jagung oleh hama/penyakit
selama penyimpanan. Namun usaha ini hanya dapat dilakukan dalam
skala kecil.
6. Faktor permodalan menjadi salah satu kunci strategis untuk mendinamisasi
jaringan kelembagaan agribisnis jagung di Indonesia.
Sarasutha et al.: Tataniaga Jagung 507
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E., Astanto, dan Sutrisno. 2005. Peran alsintan penanganan panen
dan pascapanen jagung di lahan pasang surut Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 1999. Rencana Strategis Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 1999-2004. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Bahtiar, Muchdiana, SL. Margaretha, Rahmi, Muis, IGP. Sarasutha, dan M. Y.
Maamun. 2002. Peluang dan kendala pemasaran jagung di Sulawesi
Selatan. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Vol. 7:49-57.
Fadel, M. dan S. Musa. 2006. Peningkatan produksi jagung melalui
pendekatan regional, Kasus Sulawesi. Makalah Disampaikan pada
Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30 September
2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros.
Firmansyah, IU. 2006. Permasalahan pascapanen jagung di tingkat petani
dan pedagang. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
Makassar, 29-30 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Maros. p. 369-308.
Firmansyah, IU., S. Saenong, B. Abidin, Suarni, Y. Sinuseng, J. Tandiabang, W.
Wakman, A. Nadjamuddin, A H. Talanca, Fausiah Koes, Suwardi, dan
O. Komalasari. 2005. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan
kualitas produk biji jagung berskala industri dan ekspor. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 88 p.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung selama
empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah
Disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor. 24
Juni 2002. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Kasryno, F. 2006. Suatu penilaian mengenai prospek masa depan jagung di
Indonesia. Makalah Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
Nasional Jagung, 29-30 September 2005. Balai Penelitian Tanaman
Serealia. Maros.
Maamun, M. Y., SL. Margaretha, IGP. Sarasutha, MN. Noor, A. Najamuddin,
Bahtiar, BL. Subaedah, AD. Hadijah, Syuryawati, T . Muchdiana., RY.
Arvan, dan A. Muis. 2000. Identifikasi faktor pendukung dan
penghambat pengembangan jagung. Balai Penelitian Tanaman
Jagung dan Serealia Lain. Maros. 21 p.
Mink, S.D., P.A. Dorosh, and D.H. Persy. 1987. Corn production systems. In:
Timmer (Ed). The Corn Economy of Indonesia. Cornell University.
London. p. 62-87.
508 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Nadjamuddin, A. dan MN. Noor. 1997. Dinamika permintaan-penawaran
jagung dan pengaruhnya terhadap harga di Sulawesi Selatan.
Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Jagung dan Serealia
Lain, Vol 1(1): 29-41.
Pranadji, T. dan E. Pasandaran. 2002. Analisis kelembagaan dalam agribisnis
jagung di Indonesia. Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Bogor, 24
Juni 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Saenong, S., SL. Margaretha, Syafruddin, R. Arif, Y. Sinuseng, J. Tandiabang,
Rahmawati, Nani Riany, Fausiah Koes, dan Suwardi. 2003. Sistem
perbenihan untuk mendukung penyebarluasan varietas jagung
unggul nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 101 p.
Saenong, S., SL. Margaretha, M.J. Mejaya, dan Subandi. 2006. Percepatan
distribusi benih jagung melalui produksi benih berskala komunal.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30
September. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 820-836.
Subandi. 2004. Peran inovasi dalam produksi jagung. Seminar Inovasi
Pertanian. Bogor, 5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Tandiabang, J., I.U. Firmansyah, and M.S. Pabbage. 2006. Practice of post
harvest technologies of maize in Indonesia and its implication to insect
pest and disease. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
Makassar, 29-30 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Maros. p. 538-547.
Tastra, I.K., E. Ginting, and R. Merx. 1990. Determination of the optimum
moisture content for shelling maize using local sheller. Internal
Technical Report. ATA 272/NRC-MARIF.
Yonekura, H. 1995. Development of the agribusiness and changing maize
market: A case study in East Java. IDE, Joint Research Program Series
No. 113. Tokyo.